MTs Darussalam Subah

Selamat Datang di Website Resmi MTs Darussalam Subah. Sekolah sambil ngaji? Bisa! Yuk mondok di Darussalam aja. Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Pelajaran 2023/2024 telah dibuka. Gelombang I: 1 Februari-20 Maret 2023. (21/03) Ujian Madrasah MTs Darussalam Subah Tahun ini dilaksanakan dengan Berbasis Android. (28/02) 25 Peserta Didik Mengukir Prestasi pada Olimpiade Nasional(OLNAS) Madrasah 20 Februari 2022, 9 medali emas, 8 medali perak, 3 medali perunggu, dan 5 juara harapan. (30/1) Siswa MTs Darussalam Subah Muammar Zidane Jovian Juara Bulutangkis Gemilang Cup 1 Tingkat Nasional. (5/2) (Alhamdulillah, Nadia Bunga Jauza Ma'wa Lolos 15 besar Finalis Olimpiade IPA se-Pulau Jawa Ajang OMADA 7 Brebes

RADAR MINGGUAN

AHLUSUNNAH WAL JAMAAH (ASWAJA)

Jumat, 20 Oktober 2023 ‖ 08.00 WIB

Apa yang terbenak difikiran kalian jika mendengar kata Aswaja?. Yupz, pastinya sangat erat kaitanya dengan jamiyyah kecintaan kita, Nahdlatul Ulama. Tidak usah bertele-tele, mari kita bahas apa itu Aswaja. Ahlusunnah Wal Jamaah terdiri dari tiga kata, yakni :

  • Ahlun : yang artinya golongan
  • Al-Sunnah : artinya apa saja yang datang dari Rasulullah, baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan dari Rasul Saw.
  • Al-Jamaah : yang berarti kumpulan atau kelompok. Kelompok disini yang dimaksud adalah para sahabat Nabi, terutama Khulafaurrasyidin (Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Tholib).

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud Ahlusunah Wal Jamaah adalah ; golongan yang berpegang teguh pada ajaran Rasulullah Saw dan tuntunan para sahabat.

Jadi gini gengs, sejarah istilah Ahlusunnah Wal Jamaah diambil dari hadits Nabi Saw yang menerangkan bahwa nanti di akhir zaman umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Lalu para sahabat bertanya kepada Nabi Saw, “siapa yang selamat itu wahai Rasul?”. Maka beliau menjawab : mereka adalah golongan yang menetapi jalanku, dan para sahabatku (Ahlusunnah Wal Jamaah).

Kita tahu sendiri bahwa di Indonesia saja organisasi Islam sudah sangat banyak, mulai NU, Muhammadiyah, Rifa’iyah, LDII dan sebagainya. Lalu organisasi manakah yang tergolong Ahlusunnah Wal Jamaah? Golongan mana yang dimaksud Rasul akan selamat tersebut?

Paham Ahlusunnah Wal Jamaah sejatinya merupakan metode pemikiran atau bahasa kitabnya adalah manhaj al-fikr, yang sudah berlangsung sejak zaman Rasulullah Saw dan para sahabat.

Pada perkembangan pemikira Islam, banyak bermunculan paham-paham yang menyimpang dari ajaran Rasulullah dan para sahabat. Misalkan Mu’tazilah, Murji’ah, Mujasimah dan sebagainya. Ditengah-tengah menggencarnya paham Mu’tazilah, muncul nama Al-Asy’ari dan Al-Maturidi yang menaungi umat Islam berpaham Ahlusunnah Wal Jamaah.

Karena sumbangsih pemikiran Al-Asy’ari dan Al-Maturidi yang begitu besar dalam peneguhan akidah Ahlusunnah Wal Jamaah, para pengikut paham ini menjadikan mereka berdua sebagai tolak ukur utama dalam paham ini. Sehingga nama Ahlusunnah Wal Jamaah dimaksudkan bagi semua umat Islam yang mrngikuti pola fikir Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (al-Asy’ari) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (al-Maturidi).

So… Ketika ada pertanyaan siapakah perumus akidah Ahlusunnah Wal Jamaah? Maka jawabanya adalah Imam Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturidi.

Dan Jamiyyah kita, Nahdlatul Ulama. Dalam bidang akidah menganut pola fikir Imam Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturidi, paham yang menteladani dan mempertahankan ajaran Rasulullah Saw dan ajaran para sahabat. Namun untuk membedakan dengan organisasi lain, di belakang kata Ahlusunnah Wal Jamaah ditambahi An-Nahdliyah. Maka sebutan familiar untuk orang-orang NU adalah mereka yang berpaham Ahlusunnah Wal Jamaah An-Nahdliyah (Nahdliyin).

 

Penulis : Irfan Miftahul Fitri

KOMITE HIJAZ

Apa yang kalihan ketahui jika mendengar kata Komite Hijaz?

Tepat sekali, embrio lahirnya NU salah satunya berangkat dari sejarah pembentukan Komite Hijaz. Problem keagamaan global yang dihadapi para ulama pesantren ialah ketika Dinasti Raja Saud di Arab Saudi ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW yang dianggap bid’ah karena menjadi tujuan ziarah seluruh Muslim di dunia. Selain itu, Raja Saud juga ingin menerapkan kebijakan untuk menolak praktik bermazhab di wilayah kekuasaannya. Karena ia hanya ingin menerapkan Wahabi sebagai mazhab resmi kerajaan. Rencana kebijakan tersebut lantas dibawa ke Muktamar Dunia Islam (Muktamar ‘Alam Islami) di Makkah.

Bgai ulama pesantren, sentimen anti mazhab yang cenderung puritan dengan berupaya memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam menjadi ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri. sejarah mencatat bahwa KH Abdul Wahab Chasbullah bertindak cepat ketika umat Islam yang tergabung dalam Centraal Comite Al-Islam (CCI) yang dibentuk tahun 1921, yang kemudian bertransformasi menjadi Centraal Comite Chilafat (CCC), dibentuk tahun 1925, akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah tahun 1926.

Usul Kiai Wahab antara lain: “Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Makkah harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermazhab. Sistem bermazhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus tetap dipertahankan dan diberikan kebebasan”. Kiai Wahab beberapa kali melakukan pendekatan kepada para tokoh CCC yaitu W. Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan H.O.S Tjokroamonoto, juga Ahmad Soerkati. Namun, diplomasi Kiai Wahab terkait Risalah yang berusaha disampaikannya kepada Raja Ibnu Sa’ud selalu berkahir dengan kekecewaan karena sikap tidak kooperatif dari para kelompok modernis tersebut. Hal ini membuat Kiai Wahab akhirnya melakukan langkah strategis dengan membentuk panitia tersendiri yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari 1926.

Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam ini telah mendapat restu KH Hasyim Asy’ari. Perhitungan sudah matang dan izin dari KH Hasyim Asy’ari pun telah dikantongi. Maka pada 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka untuk mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Mekkah. Para ulama dipimpin KH Hasyim Asy’ari datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat menunjuk KH Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz. Namun setelah KH Raden Asnawi terpilih, timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang berhak mengirim Kiai Asnawi? Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul KH Mas Alwi bin Abdul Aziz) pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 M.

Peristiwa sejarah itu juga membuktikan bahwa NU lahir tidak hanya untuk merespons kondisi rakyat yang sedang terjajah, problem keagamaan, dan problem sosial di tanah air, tetapi juga menegakkan warisan-warisan kebudayaan dan peradaban Islam yang telah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Selama satu abad sejak awal kelahirannya hingga saat ini, NU telah berhasil memberikan sumbangsih terhadap kehidupan beragama yang ramah di tengah kemajemukan bangsa Indonesia. Setiap tahun, Harlah NU diperingati dua kali, tanggal 31 Januari dan 16 Rajab.

 

Penulis : Irfan Miftahul Fitri

Apakah kalian termasuk golongan Ahlusunnah Wal Jamaah? Sebenarnya apa saja sih ciri khas dari golongan Aswaja ini. well, mari kita bahas…

Dengan membaca tulisan ini setidaknya dapat menambah wawasan kita dalam membedakan antara aliran yang benar-benar berpaham Aswaja dengan aliran lain yang hanya mengaku sebagai Ahlusunnah Wal Jamaah, namun doktrin ajaranya sama sekali tidak mencerminkan ajaran Aswaja. Berikut beberapa ciri khas paham Ahlusunnah Wal Jamaah :

  1. Berpegang teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal akidah dan amaliah. Sebelum wafat, Rasul Saw telah menyampaikan secara sempurna ajaran agama Islam, baik akidah maupun amaliah kepada para sahabatnya. Nha.. ajaran tersebut menjadi pegangan dan pijakan utama para sahabat dalam sendi kehidupan yang mereka jalani setelah wafatnya Rasul Saw.
  2. Menjaga kebersamaan (kelompok mayoritas). Ciri khas Aswaja selanjutnya adalah menjaga kebersamaan, menjaga kesatupaduan umat Islam dalam segala hal, tanpa terlalu menganggap perbedaan yang terjadi secara berlebihan. Perbedaan itu wajar, namun dalam menyikapi perbedaan tersebut tidak mudah menuding dengan tuduhan bid’ah, kafir atau sesat satu sama lain.
  3. Menerima ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kesepakatan para Imam Mujtahid (Imam Madzhab) setelah wafatnya Rasul Saw. Ciri khas paham Aswaja adalah mau menerima ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum setelah Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini tentunya didasarkan pada hadits Nabi Saw.

Jadi dasar hukum paham Aswaja, khususnya NU ada lima, yakni ; Al-Qur’an,

Hadits, Ijma’, Qiyas, dan dawuh dari Masyayikh (guru).

  1. Patuh terhadap pemimpin (pemerintah maupun guru). Ketundukan terhadap para pemimpin didasarkan kepada firman Allah Swt dalam surat An-Nisa ayat 59.

       يا أيها الذين آمنو أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي .الأمر منكم

Yang artinya bahwa kita diperintahkan untuk mentaati Allah Swt, Rasul Saw, dan ulil amri (pemimpin kita), baik di ranah keluarga, dunia kerja, maupun pemerintahan, selama tidak melanggar ketentuan syariat Allah Swt.

  1. Tidak saling mengkafirkan dan menuduh bid’ah. Paham Ahlusunnah Wal Jamaah tidak dengan mudahnya menuduh kafir ataupun membid’ah-bid’ahkan terhadap golongan yang berbeda dengan mereka. Hal tersebut adalah bentuk kehati-hatian dalam menyikapi perbedaan pandangan yang terjadi diantara umat.

Karena pandangan itu, Ahlusunnah Wal Jamaah dikenal luwes dalam menyikapi sesuatu, tidak ada istilah fanatisme berleihan dengan tetap memperhatikan kehati-hatian dengan literasi cukup ketat perihal akidah.

 

 

Penulis : Irfan Miftahul Fitri

MUASIS (PENDIRI) NAHDLATUL ULAMA

Mbah Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah pada hari Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H.  KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama Pangeran Benawa bin Abdul Rahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer dengan sebutan Sunan Giri.

Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI). Penyebutan pertama menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur bapak, sedangkan yang kedua dari jalur ibu.

Sejak kecil Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren. Keluarga besarnya bukan saja pengelola pesantren, tetapi juga pendiri pesantren yang cukup populer hingga saat ini. Ayah Kiai Hasyim (Kiai Asy’ari) merupakan pendiri Pesantren Keras (Jombang). Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat perhatian terutama dari santri-santri Jawa pada akhir abad ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama Kiai Sihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang.

Kyai Hasyim menikah selama tiga kali, pertama pada usia 21 tahun  Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Tujuh bulan kemudian, Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.

Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.

Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M.

Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir bagi Kiai Hsyim hingga akhir hayatnya.

Tentu tidak cukup untuk menuliskan biografi Kyai Hasyim dalam satu lembar kertas, maka dari itu kelanjutanya seperti apa, kita tunggu Radar Mingguan NU di hari Jumat pekan depan.

 

Penulis : Irfan Miftahul Fitri

Related Posts